Laman

Selasa, 08 April 2008

Tingkatan Surga


Sebagian al-muhaqqiqûn (para penegas kebenaran) mengatakan bahwa makhluk pertamakali disifati dengan wujud, kemudian dengan ilmu, kemudian dengan qudrat (kekuasaan, kemampuan), kemudian dengan irâdah (keinginan), kemudian dengan perbuatan hingga ma’âd (tempat kembali) itu menjadi proses kembali pada fitrah yang asli dan pulang kepada permulaan dalam akhir. Maka seharusnya, sifat-sifat itu harus hilang secara berangsur-angsur dan teratur lagi berlawanan dengan keteraturan yang awal lagi baru.
Pesuluk yang menuju pada Allah Swt dengan langkah keimanan dan cahaya irfan (makrifat), perbuatannya harus lebih dahulu ternafikan dari dirinya. Maqam ini disebut dengan maqam ketakwaan dan kezuhudan di dunia. Setelah itu ikhtiarnya ternafikan dari dirinya hingga tak ada satu pun keinginan dan ikhtiar yang ada di dalamnya. Bahkan dia meleburkan keinginannya dalam keinginan Allah. ”Dan tidak patut bagi seorang mukmin dan mukminat untuk memiliki pilihan ketika Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara” (QS. al-Ahzâb [33]:36). Karena pada hakekatnya, segala sesuatu berasal dari-Nya dalam konteks yang lebih utuh dan aturan yang lebih kokoh. Jika ia sudah sampai pada maqam ini dan beristiqamah di dalamnya, dia akan ridha dengan ketentuan-Nya. Dengan begitu, dia akan berhasil mencapai maqam keridhaan, tenang dari segala duka dan nestapa. Sebab, dia melihat segala sesuatu berada pada puncak kedermawanan, kebaikan, keteraturan dan kesempurnaan. Dia melihat rahmat Allah mencakup segala sesuatu bahkan dia menyaksikan wajah al-Haq (Allah) yang kekal dalam segala sesuatu. Dia melihat kebaikan mutlak dan keindahan mutlak termanifestasi padanya dan pada segala sesuatu hingga dia menjadi bersinar, ridha dan merasakan kenikmatan.
Barang siapa yang melihat bentuk seluruh alam ini tersingkap baginya akan memperoleh ilmu “hudhûri” (hadir bersama Allah) dalam konteks yang lebih teratur, lebih rapi, dan lebih tersusun dan sempurna dari segi ilmu terhadap sebab-sebab dan sumber-sumbernya yang datang dari sisi Allah. Pada saat itu, bentuk-bentuk segala sesuatu telah berganti. Bumi menjadi bumi yang lain dan langit menjadi langit yang lain. Begitu pula, segala sesuatu berubah bahkan jiwa pesuluk tadi juga berubah. Eksistensinya yang gelap berubah menjadi eksistensi yang bercahaya dan kenistaan jahiliyah hilang dari dirinya. Dia berada dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
Dalam konteks inilah, penjaga surga dinamakan Ridhwân. Karena selama manusia belum sampai pada maqam keridhaan ini, dia tidak akan masuk surga dan tidak akan sampai pada rumah kemuliaan dan kedekatan. Di dalam hadis qudsi disebutkan,”Barang siapa yang belum ridha dengan ketetapan-Ku dan belum sabar atas cobaan-Ku maka hendaknya dia menyembah tuhan selain-Ku dan keluar dari bumi dan langit-Ku”. Allah berfirman, ”dan keridhaan dari Allah lebih besar” (QS. al-Taubah [9]:72).
Adapun yang belum berjalan melalui jalan ahli wahdah dan irfan serta perbuatan-perbuatannya masih menuruti keinginannya dan kebutuhan alaminya, dia seperti orang yang diisyaratkan oleh firman-Nya, ”Seandainya al-Haq mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya hancurlah langit dan bumi serta siapa yang ada di dalamnya.” (QS. al-Mukminun [23]:71). Sudah pasti dia terhalangi dari keinginan hawa nafsunya dan terhijab dari keinginan alami dan syahwatnya. Allah berfirman, ”Dan dihalangi antara mereka dan antara apa yang mereka ingini.” (QS. Saba [34]:54). Kemudian dia mendapatkan murka Allah dan api kemarahan-Nya, ”Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah seperti orang yang mendapatkan kemurkaan dari Allah.” (QS. Âli Imran [3]:162). Hawa nafsu telah membawanya sampai ke neraka hawiyah dan diharamkan baginya dari seluruh yang diinginkan oleh hati dan keinginannya. Dia diikat dan dibelenggu dengan rantai dan belenggu, seperti sifat pemilik dan budak. Dalam konteks ini penjaga neraka dan hawiyah dinamakan Mâlik.